Diserang Hacker, Perusahaan Pilih Bungkam Ketimbang Lapor Polisi

Serangan cyber di Indonesia tergolong tinggi. Hanya saja yang dilaporkan dan dilakukan investigasi masih kecil angkanya.

Dikatakan Kasubid Komputer Forensik Puslabfor Mabes Polri AKBP M. Nuh Al Azhar, serangan cyber tidak hanya membidik instansi pemerintah, tetapi juga swasta. Karena permasalahan privasi, beberapa perusahaan justru memilih untuk tidak melaporkan dan mengatasinya sendiri.

“Ini terkait kepercayaan. Bila melapor sering terkena serangan, nanti kepercayaan konsumen bisa hilang. Harga saham mereka bisa pula turun. Akhirnya mereka mengatasinya sendiri,” ujar Nuh saat ditemui usai konferensi pers Kick Off Pembentukan Asosiasi Forensik Digital Indonesia (AFDI) di kantor Kominfo, Selasa (17/11/2015).

Meski demikian, kondisi ini menjadi tanggung jawab bagi penggiat forensik digital dan negara untuk memahami fenomena gunung es tersebut sehingga angka kejahatan cyber berkurang. Untuk itu perlu adanya kerjasama banyak pihak mewujudkan itu.

“Tidak bisa istilah single fighter. Perlu ada kerjasama antara pemerintah, akademisi, profesional, komunitas dan swasta untuk menjadikan Indonesia lebih baik dan bagus serta tidak rentan terhadap serangan cyber,” ujar pria yang juga menjabat sebagai Ketua Tim Formatur Pembentukan AFDI ini.

Lebih lanjut Nuh mengatakan, dibutuhkan wadah untuk mengakselerasi perkembangan dunia digital demi menjawab tantangan keamanan cyber. Dibentuknya AFDI sendiri diharapkan ada 4 tujuan yang ingin dicapai. Pertama edukasi dan sosialisasi.

Menurut Nuh, asosiasi memiliki tanggung jawab kepada masyarakat untuk mengedukasi dan sosialisasi. Sehingga masyarakat Indonesia tidak menjadi korban kejahatan cyber.

Kedua, mengembangkan standarisasi dan akreditasi. Seperti diketahui, digital forensik merupakan ilmu berbasis sains yang membutuhkan standar dan akreditasi, agar hasil analis dapat diakui dan valid secara keilmuan dan hukum.

Ketiga, kode etik profesi. Dengan adanya kode etik, digital forensik dapat berpijak pada kaidah sains saat membuat analisis.

“Harus ada kode etik. Hacking saja ada, kenapa digital forensik tidak?” tuturnya.

Keempat, AFDI dapat menjadi rumah bagi penggiat digital forensik maupun pemula. Nuh melanjutkan, sudah menjadi tanggung jawab asosiasi untuk mencetak para ahli digital forensik.

“Setiap tahun harus bertambah, bila tidak dianggap gagal. Karena itu diharapkan nanti asosiasi melakukan sosialisasi ke sekolah agar melahirkan banyak digital forensik di masa depan,” pungkasnya.

Sumber: 

Rate this post

Bagikan:

[yikes-mailchimp form=”2″]

× Apa yang bisa kami bantu?