Indonesia Miliki Banyak Malware “Antik”

Ada sebuah fakta unik yang menyatakan bahwa negara Indonesia memiliki banyak malware “antik”. Maksudnya adalah malware yang berkembang di Indonesia terbilang kuno secara teknologi tetapi menyebar dan masif serta ada dimana-mana. Pernyataan tersebut diutarakan oleh Raimund Genes, CTO dari Trend Micro yang berbasis di Jerman sesaat sebelum presentasinya di acara RSA Conference 2015, Singapura, (22/7/15).

Berdasarkan pengamatannya yang telah menggeluti dunia keamanan selama lebih dari 20 tahun, Raimund melihat bahwa Indonesia masih memiliki sistem komputer lama dan sangat jarang melakukan update patch. Menurutnya, tidaklah aneh jika ia melihat begitu banyak malware lama yang masih “bergentayangan” di sistem dan jaringan komputer Indonesia. Di satu sisi, ancaman ransomware pun perlahan tapi pasti tengah mengintai Indonesia.

“Ransomware adalah ancaman global dan pasti akan mengancam Indonesia,” ujar Raimund dengan bersemangat. Ia sendiri cenderung khawatir karena secara teknis Indonesia harus menghadapi dua sisi ancaman yang datang dari dua arah. Indonesia harus mengatasi berbagai macam malware kuno yang masih berkembang, di sisi lain negara ini mau tidak mau akan berhadapan secara masih dengan ransomware.

Secara kritis Raimund mengatakan bahwa infeksi yang terjadi di Indonesia akibat malware “antik” ini adalah sebuah indikator kecil bahwa budaya dan kesadaran keamanan informasi masyarakat Indonesia masih kurang. “Negara yang memiliki kesadaran keamanan informasi yang masih sangat rendah akan enggan untuk memperbaharui sistem mereka,” tandas Raimund. Hal tersebut berkaitan langsung dengan cara atau langkah mitigasi ketika menghadapi ancaman siber yang semakin dinamis.

“Salah satu cara untuk mengatasi ancaman ransomware adalah rutin melakukan back up,” papar Raimund. Pasalnya, negara yang masih rendah kesadaran keamanan informasinya sangat jarang terpikir untuk melakukan back up. Untuk wilayah Asia sendiri, Raimund tidak mengetahui data statistik terkait penyebaran malware. Begitu pun di Eropa. “Untuk data di wilayah Amerika Serikat, jumlah nominal kerugian akibat ransomware sebanyak 18 juta dolar AS,” papar Raimund.

Fakta lainnya yang diungkapkan oleh Raimund adalah beberapa jenis ransomware adalah exploit tool kit yang dapat diperjualbelikan secara bebas. “Tool kit itu diperjualbelikan sehingga penjahat siber lokal pun dapat mengadaptasinya sesuai dengan lingkungan di negaranya. Indonesia pun tidak tertutup kemungkinan akan seperti itu,” tandas Raimund.

Sumber: ciso.co.id

Rate this post

Bagikan:

[yikes-mailchimp form=”2″]

× Apa yang bisa kami bantu?