Beberapa hari lalu, tepatnya Sabtu, 22 Agustus, kita melihat berita di TV maupun media daring bahwa telah terjadi kebakaran pada gedung Kejaksaan Agung (Kejagung). Kebakaran yang terjadi pada tempat berkantornya Biro Kepegawaian, Biro Keuangan, Biro Perencanaan, dan Biro Umum itu terlihat mulai terjadi pkl. 19.10 WIB dan melahap ruang kantor Jaksa Agung. Api membakar lantai 3 dan 4 tempat Jaksa Agung Muda Intelejen Kejagung berkantor, serta lantai 5 dan 6 tempat di mana kantor Jaksa Agung Muda Pembinaan Kejagung berada. Menanggapi peristiwa bencana kebakaran ini, Jaksa Agung S.T. Burhanuddin menyampaikan bahwa dokumen penanganan perkara tetap aman karena disimpan di gedung yang terpisah dan dokumen maupun data yang musnah akibat terbakar tetap dipastikan aman karena tersedia cadangannya (data back-up).
Mendengar penjelasan di atas kita patut bersyukur karena peristiwa bencana kebakaran tersebut ‘hanya’ menimbulkan kerugian finansial, yang umumnya (semoga saja) terlindungi oleh asuransi kerugian. Bayangkan bila kebakaran yang terjadi sampai memusnahkan berkas-berkas penanganan perkara yang sedang ditangani oleh kejaksaan, tentu kerugian imaterial berupa dampak negatif terhadap reputasi Kejagung akan jauh lebih besar dan tidak akan sepadan bila dibandingkan dengan kerugian finansial yang ada. Belum lagi knock-on effect yang dapat timbul berupa persepsi liar yang beredar di tengah masyarakat tentang adanya unsur kesengajaan dalam bencana kebakaran yang terjadi, misalnya untuk menghilangkan barang bukti atau menghambat proses persidangan, yang selanjutnya memicu ketidakpercayaan publik terhadap supremasi hukum di Indonesia.
Apa yang menimpa gedung Kejagung menjadi sebuah contoh nyata bagaimana sebuah bencana dapat terjadi di mana saja, kapan saja, dan menimbulkan kerugian yang tidak sedikit, bagi siapa saja yang mengalaminya. Dalam konteks ini, penerapan Manajemen Kelangsungan Bisnis, atau yang dikenal juga dengan Business Continuity Management (BCM), menjadi sangat relevan bagi organisasi mana pun. Perlu menjadi catatan bahwa meski menggunakan kata ‘bisnis’, BCM tidak hanya diperlukan oleh organisasi bisnis berorientasi pada keuntungan saja, melainkan dapat dan juga perlu diterapkan oleh berbagai jenis organisasi, termasuk organisasi publik yang tidak berorientasi pada bisnis dan keuntungan. Adapun penerapan BCM ditujukan untuk membangun kemampuan dan kesiapan organisasi untuk secara andal menjalankan kelangsungan bisnis walau terjadi peristiwa bencana yang bersifat disruptif seperti kebakaran yang menjadi contoh di atas.
Mengacu pada standar praktik terbaik penerapan BCM, ISO 22301:2019 Security & Resilience – Business Continuity Management Systems – Requirements, kelangsungan bisnis didefinisikan sebagai kapabilitas sebuah organisasi untuk tetap menyampaikan produk dan layanannya, berdasarkan suatu kapasitas yang telah ditetapkan sebelumnya, dalam suatu rentang waktu tertentu ketika terjadi disrupsi. Standar ISO ini juga dilengkapi dengan panduan penerapannya, yaitu ISO 22313:2020 Security & Resilience – Business Continuity Management Systems – Guidance on the use of ISO 22301, yang menyatakan bahwa ISO 22301 dapat diterapkan guna mengantisipasi disrupsi berupa peristiwa-peristiwa yang cenderung terjadi secara mendadak (sudden disruption), seperti bencana alam atau peristiwa-peristiwa tanpa unsur keterlibatan manusia lainnya macam gempa, banjir, atau kebakaran, maupun peristiwa yang disebabkan oleh manusia macam kerusuhan, serangan siber, atau ancaman terorisme, serta dapat berupa juga peristiwa-peristiwa yang cenderung terjadi secara bertahap (gradual disruption) seperti pandemi COVID-19 yang sedang kita alami beberapa bulan terakhir ini.
Namun, mengapa BCM dan bukan manajemen risiko? Bukankah manajemen risiko juga ditujukan untuk mengantisipasi risiko-risiko yang bersifat disruptif?
Benar. Penerapan manajemen risiko juga mencakup upaya-upaya untuk mengantisipasi terjadinya peristiwa disrupsi. Dengan manajemen risiko, kita berupaya untuk menurunkan kemungkinan kejadian disrupsi melalui berbagai tindakan pencegahan, dan atau memperkecil dampak yang ditimbulkan bila disrupsi terjadi. Pada bagian terakhir inilah penerapan BCM berperan sebagai kelanjutan dari penerapan manajemen risiko. BCM membantu organisasi semenjak menit-menit awal terciptanya krisis saat disrupsi terjadi hingga pada pemulihan bisnis dan operasional organisasi secara terencana, walau lokasi kerja tidak dapat diakses akibat dari bencana disruptif yang terjadi. Adapun BCM membantu organisasi antara lain dalam hal:
- Mencegah jatuhnya korban jiwa ketika bencana disruptif dengan meningkatkan kesiapan individu organisasi dalam merespons situasi krisis secara tanggap;
- Mengamankan aset penting organisasi yang diperlukan untuk melakukan pemulihan bisnis dan operasional saat disrupsi berlangsung;
- Mengomunikasikan situasi krisis tanpa membuat panik pemangku kepentingan sehingga sekaligus juga menjaga tingkat keyakinan pemangku kepentingan bahwa organisasi tetap andal dalam menyediakan produk dan layanan, serta dalam memenuhi kewajibannya, walau sedang dilanda bencana;
- Menentukan prioritasi pemulihan fungsi organisasi secara tepat melalui analisis dampak bisnis (business impact analysis, atau disingkat BIA);
- Menyediakan justifikasi terhadap pilihan strategi dan opsi pemulihan, termasuk di dalamnya investasi yang harus dikeluarkan organisasi untuk mewujudkannya;
- Membangun dan mempersiapkan infrastruktur yang diperlukan untuk menjaga ketahanan bisnis (business resilience) dan operasional organisasi saat disrupsi melanda;
- Mencegah dampak kerugian finansial, dampak hukum, maupun dampak reputasi yang terlampau besar bagi organisasi untuk dapat pulih kembali setelah terjadinya disrupsi.
Mengingat pentingnya penerapan BCM dalam melengkapi penerapan manajemen risiko, IRMAPA bersama Proxsis Consulting Group meluncurkan Professional Development Program (PDP) BCM Series, yaitu serial pelatihan dan workshop apikatif tentang BCM yang ditujukan bagi para Anggota IRMAPA maupun profesional dan praktisi dari berbagai sektor dan industri, dengan topik penerapan BCM berbasis standar praktik terbaik ISO 22301 BCMS, ISO 22313 Panduan Penerapan BCM, ISO 22317 BIA, maupun rujukan-rujukan standar praktik terbaik lainnya terkait penerapan BCM yang efektif. Adapun PDP didesain untuk menyediakan informasi-informasi penting yang perlu diketahui dan dilakukan oleh para penanggung jawab penerapan BCM organisasi, dengan studi kasus pada seri pelatihan terakhir untuk menginternalisasi pemahaman peserta PDP yang terbangun pada seri-seri pelatihan sebelumnya. Selain itu, PDP juga memberikan keleluasaan bagi para peserta untuk memilih dan hanya mengikuti topik-topik/seri-seri pelatihan yang diminati, serta dapat dimanfaatkan sebagai bagian dari program sosialisasi dan pengembangan keterampilan seluruh pihak internal organisasi (maupun pihak eksternal yang juga dilibatkan) untuk meningkatkan efektivitas penerapan BCM di lingkungan organisasi masing-masing. Melengkapi PDP ini, IRMAPA sebelumnya telah menyediakan panduan perencanaan penerapan BCM terhadap pandemi COVID-19 (maupun pandemi penyakit menular lainnya) yang dapat diunduh melalui tautan ini: https://play.google.com/store/books/details/Antonius_Alijoyo_PANDUAN_PERENCANAAN_MANAJEMEN_KEB?id=oH_sDwAAQBAJ&hl=en.
Sebagai penutup, penulis hendak mengajak seluruh pembaca untuk memastikan bahwa BCM yang akan atau telah diterapkan dijalankan dengan serius agar dapat berlangsung efektif dan memberikan manfaat optimal bagi organisasi. Pengelolaan risiko secara proaktif memang merupakan elemen yang secara fundamental dibutuhkan untuk menciptakan ketahanan organisasi (organizational resilience). Namun, organisasi tidak akan pernah menjadi resilient organization tanpa adanya penerapan BCM yang efektif. Untuk itu marilah kita menerapkan BCM, karena hanya dengan manajemen risiko saja tidaklah cukup.
Penulis: Charles R. Vorst, MM., CERG, ERMCP, QCRO, QRGP, CCGO, CGOP – Ketua IRMAPA.
Referensi:
- https://www.kompas.com/tren/read/2020/08/23/141000865/5-fakta-kebakaran-gedung-kejaksaan-agung?page=all.
- Informasi lebih lanjut tentang PDP BCM Series IRMAPA: https://irmapa.org/wp-content/uploads/2020/08/Booklet-IRMAPA1.pdf.