Potensi E-Commerce Rp 180 T, Aplikasi Jadi Tantangannya

Pemerintah berkeyakinan e-commerce akan menjadi penggerak ekonomi pada masa depan. Sejumlah situs web penjualan online membuktikan diri bisa terus tumbuh dan berkembang bahkan sudah masuk kategori layak investasi. Peluang dan tantangan membentang bersamaan. Seperti apa?

Hingga 2020, perputaran uang di perdagangan online ini diperkirakan mencapai 130 miliar dollar AS. Memakai kurs Rp 13.900 per dollar AS, nilai itu setara lebih dari Rp 180 triliun. Pada 2015, total nilai transaksi perdagangan lewat internet bernilai sekitar 20 miliar dollar AS, melanjutkan lompatan dari taksiran 8 miliar dollar AS pada 2013 dan 13 miliar dollar AS pada 2014.

“Untuk mencapai (nilai taksiran pada 2020) itu,  pemerintah akan mewadahi 200 teknopreneur baru tiap tahun,” kata Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara, Selasa (12/1/2016). “Kami ingin e-commerce tumbuh cepat,” imbuh dia, sembari menyebutkan kebutuhan dana mencapai kisaran 6 juta dollar AS hingga 7 juta dollar AS untuk program itu per tahun.

Program tersebut mengacu pada peta arah pengembangan e-commerce yang dicanangkan bersama oleh 8 kementerian dan lembaga pada 2015. “(Roadmap) sudah finalisasi,” kata Rudiantara. Pada tahap tersebut tengah disiapkan regulasi untuk para pelaku e-commerce.

Menurut Rudiantara, regulasi itu merupakan kerangka peraturan terkait industri e-commerce. Isinya mencakup panduan perdagangan online,terutama terkait layanan internet, metode pembayaran (payment gateway), dan perpajakan. “Termasuk kemudahan apa yang harus diberikan e-commerce ke sektor pasar modal sehingga investasinya terbuka untuk asing,” ungkap Rudiantara.

Rudiantara menyoroti pula makin maraknya pebisnis yang merambah dunia aplikasi digital. Perencanaan terstruktur, ujar dia, akan menjadi penentu perkembangan aplikasi tersebut.

Dari perkiraan 93,4 juta pengguna internet di Indonesia pada 2015, ditaksir 77 persen di antaranya memakai teknologi ini untuk pencarian informasi atau produk serta belanja online. Riset terbaru Google yang digelar pada Juni 2015 mendapati, situs web belanja online merupakan yang paling banyak dibuka pengguna internet Indonesia memakaismartphone.

Menurut riset Google itu, pemilik smartphone di Indonesia menjadikan peranti itu sebagai alat komunikasi utama—termasuk untuk berselancar di dunia maya—meski punya komputer dekstop atau tablet. Penetrasi smartphone ke Indonesia diperkirakan mencapai 43 persen populasi. Sayangnya, jumlah aplikasi yang terbenam di dalam smartphone orang Indonesia justru tercatat terendah di Asia, sekitar 31 persen saja.

Menurut riset Google tersebut, tantangan untuk kawasan Asia—termasuk Indonesia—adalah menghadirkan inovasi baru untuk aplikasi. Penting bagi penyedia layanan aplikasi, kata riset itu, menyediakan tuntunan yang runut bila ingin aplikasi besutannya laris di kawasan ini.

Berpikir kreatif dengan menghasilkan aplikasi terintegrasi dari kebutuhan penggunaan itu, lanjut rekomendasi tersebut, akan menjadi pintu “penglaris”. Sejauh ini, aplikasi yang paling banyak terpasang di ponsel pintar orang-orang Asia adalah instant messaging—macam Whatsapp dan Line—disusul media sosial dan mesin pencari.

Sumber berita: tekno.kompas.com
Sumber foto: Jumany.com

Rate this post

Bagikan:

[yikes-mailchimp form=”2″]

× Apa yang bisa kami bantu?