Estonia, sebuah negara di belahan Eropa yang sempat lama dijajah oleh Soviet sebagai hasil dari Pakta Molotov-Ribbentrop, kemudian jatuh ke tangan Nazi Jerman pada tahun 1941 dan kembali lagi dijajah Uni Soviet pada tahun 1944.
Sebagai negara merdeka, Estonia baru memperoleh kembali kemerdekaannya pada tahun 1991 saat runtuhnya Uni Soviet dan kemudian bergabung dengan Uni Eropa pada tahun 2004.
Sengaja kita mencermati negara ini karena inilah negara yang menurut organisasi Freedom House digelari negara dengan skor terbaik di dunia dalam laporan Freedom on the Net. Berturut-turut sejak tahun 2011, 2012, 2013, 2014, dan 2015, Estonia mendapat skor 10, 10, 9, 8, dan 7, di mana 0 adalah skor terbaik dan 100 adalah skor terburuk.
Yang menjadikan Estonia meraih skor baik karena di negara ini kemerdekaan bicara dan kemerdekaan berekspresi dilindungi oleh konstitusi dan menjadi wajib dijaga karena Estonia anggota Uni Eropa.
Sejak tahun 2000, Estonia mengakui bahwa akses internet adalah hak asasi setiap warga dan itu sebabnya negara mendorong pertumbuhan internet secara masif. Di sana, tidak ada pembatasan anonimitas, bahkan diskusi soal anonimitas menjadi topik yang selalu dibicarakan.
Negeri ini juga melakukan pembatasan konten internet dan komunikasi, tapi termasuk yang paling ringan di dunia. Perlindungan data netizen dijaga baik-baik karena penyedia jasa komunikasi dan internet berkewajiban mendaftar ke Estonian Technical Surveillance Authority (ETSA) dan diwajibkan untuk menyediakan lokasi dan lalu lintas data selama setahun. Data ini hanya akan diserahkan ke pihak berwenang dan lembaga intelejen lewat perintah pengadilan.
Bagaimana dengan iklim industri internet di sana? Estonia merupakan negara dengan tingkat penetrasi internet tinggi menurut data International Telecommunication Union (ITU) mencapai lebih dari 84% dari total 1,3 juta penduduk yang tersambung ke lebih dari 200 operator yang menawarkan jasa internet, termasuk 6 operator telpon genggam dan sejumlah internet service providers (ISPs).
Karena memandang teknologi informasi dan komunikasi penting bagi pertumbuhan ekonomi, negara berinvestasi cukup besar dalam perkembangan dan meletakkan internet dalam Kementerian Urusan Ekonomi dan Komunikasi.
Pada tahun 2013, hampir 97% transaksi perbankan dilakukan lewat online. Di bidang demokrasi digital, pada tahun 2007 Estonia menjadi negara pertama yang membolehkan pemberian suara dalam pemilu lewat cara online. Lebih dari 70.000 blogger aktif menggunakan internet untuk menyebarkan informasi yang dibutuhkan masyarakat. Serta di bidang teknologi informasi ada 150 perusahaan teknologi di Tehnopol yang berada di ibukota Tallin dan ribuan lainnya tersebar di antero negeri.
Bermula dari Pondasi Multi-Stakeholder
Estonia berpandangan bahwa apabila internet dikelola dengan baik, pelbagai kepentingan mulai dari urusan teknologi, ekonomi, pertahanan dan kedaulatan bangsa, moral, hukum, kemerdekaan ekspresi, dan demokrasi bisa tumbuh bersama dan menjadi negara yang kuat dan bukan justru menjadikan internet momok bersama yang ditakuti oleh suatu bangsa.
Mengenai kebijakan blokir dan penapisan, misalnya. Estonia juga mempunyai aturan pembatasan mengenai konten internet. Pemblokiran situs ini dilakukan secara transparan dan akuntabel. Estonia juga melarang hate speech sesuai dengan aturan yang berlaku di negara Uni Eropa.
Tentu saja hal ini menimbulkan pertanyaan besar: bagaimana Estonia mengaturnya?
Ternyata semua bermula dari tahun 2009 lewat berdirinya Estonian Internet Foundation (EIF) yang mengelola top level domain .ee untuk Estonia. Dengan prinsip multi-stakeholder, EIF ini sukses mengelola tata kelola internet dalam urusan pendaftaran nama domain, mulai dari kebijakan harga pendaftaran yang tadinya dikenai biaya 20 Euro per tahun menjadi hanya 9 Euro per tahun, hingga persoalan pengelolaan konten.
Penerapan prinsip multi-stakeholder ini juga dipakai dalam menyusun kebijakan penghapusan konten, misalnya. Menghapus konten tertentu bukan hal mudah di Estonia karena Estonia mengakui hukum privasi.
Perlu diketahui bahwa di Estonia setiap keputusan menghapus konten yang melenceng atau komentar online yang melecehkan harus lebih dulu melibatkan pengadilan. Umumnya pengguna diinformasikan mengenai kebijakan privasi dan aturan dalam berkomentar online yang harus mereka patuhi.
Beberapa jasa online memiliki kebijakan yang menjelaskan tanggung jawab dan menjunjung etika serta kebijakan paksa bila ada yang melanggar.
Singkatnya, prinsip multi-stakeholder itu ingin mengatakan bahwa beres tidaknya pengelolaan internet harus melibatkan banyak pihak.
Indonesia boleh dikatakan tidak ketinggalan dalam menerapkan prinsip tata kelola yang multi-stakeholder. Paling tidak sejak 2013, saya menyaksikan sendiri bagaimana berbagai pihak yang punya kepentingan dengan internet mulai mau duduk bersama untuk mengelola internet di Indonesia.
Momentum terbaik yang dapat dijadikan contoh adalah keberhasilan Indonesia mengelola kegiatan Internet Governance Forum 2013 di Bali.
Tapi apa membedakan tata kelola internet di Indonesia dari Estonia, sehingga Indonesia menempati skor 42 dalam laporan Freedom on the Net yang dikeluarkan oleh Freedom House?
Freedom House mencatat tiga hal ini yang menonjol terjadi di tahun 2015:
- Mahkamah Konstitusi memperkuat Peraturan Menteri Kominfo No. 19 Tahun 2014 tentang konten negative yang memberi kewenangan untuk melakukan blokir dan penapisan.
- Situs berbagi video Vimeo diblokir secara resmi di Indonesia karena mengandung konten pornografi.
- Paling tidak ada 5 orang yang dipenjara karena penerapan UU ITE terkait pasal defamasi.
Poin 1 dan 2 sebetulnya berada dalam satu ranah kebijakan blokir dan penapisan, sedangkan poin 3 berada dalam ranah pidana defamasi.
Sumber berita: kompas.com (penulis: Damar Juniarto)
Sumber foto: ip-watch.org