Penipuan online masih menghantui internet Indonesia. Bahkan, dalam sebuah riset, Indonesia jadi pemuncak korban aksi tipu-tipu dunia maya ini.
Dalam riset yang dilakukan Kaspersky Lab dan B2B International, terungkap bahwa 48% konsumen menjadi target aksi penipuan yang dirancang untuk menipu dan mengelabui mereka sehingga mengungkapkan informasi sensitif dan data keuangan untuk tindak kriminal.
Yang mengkhawatirkan, dari 26 negara yang disurvei, Indonesia menempati posisi tertinggi sebesar 26% konsumen telah kehilangan uang mereka sebagai akibat menjadi target aksi penipuan online. Posisi selanjutnya ditempati Vietnam 25% diikuti oleh India 24%.
“Hampir setengah dari pengguna internet mengalami ancaman keuangan selama periode survei 12 bulan. Ancaman termasuk menerima email mencurigakan yang mengaku dari bank (22%) atau situs ritel (15%), dan halaman web yang mencurigakan dan meminta data keuangan (11%),” papar Kaspersky dalam keterangan resminya, Selasa (31/5/2016).
Adapun bentuk ancaman keuangan yang dialami para konsumen di antaranya: 6% konsumen kehilangan uang karena scam atau penipuan online, 4% menjadi korban kebocoran data dan kehilangan uang melalui organisasi keuangan dan 3% konsumen yang memiliki cryptocurrency (seperti BitCoin) atau e-money dicuri.
“Secara keseluruhan, 11% pengguna internet global melaporkan uang mereka telah dicuri secara online,” lanjutnya.
Penelitian ini juga menemukan bahwa ketika uang konsumen dicuri, maka mereka menderita kerugian dengan estimasi rata-rata sebesar USD 283, sementara setiap orang kelima (22%) kehilangan lebih dari USD1.000.
Hanya setengah (54%) dari mereka yang terkena dampak hilangnya uang berhasil mendapatkan kembali secara utuh dana mereka yang dicuri dan seperempat (23%) konsumen yang sama sekali tidak berhasil mendapatkan dana mereka kembali.
Mengomentari temuan ini, Ross Hogan, Global Head of Fraud Prevention Division di Kaspersky Lab mengatakan, berbagai bentuk ancaman keuangan online terhadap konsumen semakin berkembang.
Selain penipuan online dengan gaya tradisional, kita juga mulai melihat para penjahat cyber mengeksploitasi serta mencari cara baru untuk menipu konsumen, hal ini membuat pengguna internet semakin berwaspada ketika melakukan transaksi keuangan online atau mengklik link mencurigakan yang sepertinya berkaitan dengan bank mereka.
“Sementara itu, untuk kerugian keuangan sebagai akibat dari kebocoran data organisasi keuangan atau penipuan cryptocurrency masih relatif rendah, namun tetap saja keduanya merupakan cara yang cukup menguntungkan bagi para penipu online untuk menargetkan dan mencuri uang dari pengguna internet,” lanjut Hogan.
“Dengan ancaman baru berkembang setiap hari, konsumen mengharapkan bank dan organisasi keuangan untuk menjaga dan menjamin keamanan uang mereka dan ketika mereka bertransaksi keuangan,” tandasnya.
Sumber berita: inet.detik.com
Sumber foto: technolaw.weebly.com