COVID-19, Banjir, dan Kesiapan Bisnis Menghadapinya

kesiapan bisnis menghadapi disrupsi

Kesiapan bisnis menghadapi disrupsi

kesiapan bisnis menghadapi disrupsi

Penulis: Charles R. Vorst, MM., CERG, ERMCP, QCRO, QRGP, CCGO, CGOP – Ketua IRMAPA

Apa bedanya COVID-19 dan banjir yang melanda Jakarta beberapa waktu lalu?

Mungkin segudang jawaban akan kita terima bila pertanyaan di atas kita ajukan kepada orang lain. Namun jika yang ditanyakan adalah apa yang menjadi persamaan di antara keduanya maka besar kemungkinan ada satu jawaban yang akan paling sering Anda dengar: “sama-sama merugikan..!”. Lengkapnya, merugikan bagi semua pihak yang terdampak langsung maupun tidak langsung, baik individu masyarakat, pemerintah, ataupun pelaku usaha. Dan kalau Anda bertanya pada seorang praktisi atau profesional bidang Manajemen Kelangsungan Usaha (atau dalam Bahasa Inggris kita kenal dengan Business Continuity Management, disingkat BCM) maka jawaban yang Anda terima mungkin bahkan akan seragam, yaitu baik COVID-19 maupun banjir merupakan jenis-jenis peristiwa disrupsi yang ditangani dalam penerapan BCM.

Mengacu pada ISO 22313:2020 yang berisikan panduan penerapan ISO 22301, sebuah standar ISO tentang persyaratan yang harus dipenuhi dalam penerapan BCM, terdapat dua jenis peristiwa disrupsi. Pertama, disrupsi mendadak (sudden disruption), seperti contohnya banjir. Kedua adalah disrupsi bertahap (gradual disruption), contohnya pembatasan mobilitas fisik dan aktivitas sebagai respons terhadap penyebaran COVID-19. Kedua jenis peristiwa disrupsi ini merupakan bagian dari serangkaian peristiwa disrupsi yang coba untuk dikendalikan oleh banyak organisasi melalui penerapan BCM. Tujuannya sederhana, mengurangi dampak kerugian yang ditimbulkan akibat terjadinya peristiwa disrupsi tersebut. Kerugian yang dimaksud dapat berupa kehilangan finansial, kehilangan nyawa, kehilangan informasi dan aset penting lainnya, maupun kerugian-kerugian lainnya semuanya pada akhirnya berujung pada satu kerugian yang paling ditakuti mungkin oleh hampir semua organisasi di dunia, kehilangan reputasi. kesiapan bisnis menghadapi disrupsi.

Tapi bagaimana kita bisa mengantisipasi suatu potensi disrupsi yang terjadi dalam waktu cepat seperti sudden disruption? Atau bagaimana caranya kita sanggup mengantisipasi potensi disrupsi yang nyaris tidak terprediksi sebelumnya seperti COVID-19? Untuk membayangkan jawaban dari kedua pertanyaan ini, mari kita menempatkannya dalam konteks manajemen risiko. Bagaimana kita mengantisipasi kejadian peristiwa risiko yang terjadi secara cepat atau dadakan? Bagi Anda praktisi manajemen risiko yang andal pasti langsung paham bahwa kuncinya di sini bukanlah seberapa cepat risiko dapat terjadi, melainkan seberapa siap kita menghadapi risiko tersebut dan hal ini juga berlaku dalam penerapan BCM. Peristiwa-peristiwa disrupsi dadakan seperti banjir, gempa, atau kebakaran tidak berujung menjadi sebuah peristiwa catastrophe apabila safety drill secara disiplin kita lakukan. Dalam hal ini, disrupsi, bahkan disrupsi jenis apa pun, secara cepat dapat berubah menjadi sebuah bencana apabila kita tidak siap untuk menghadapinya.

Baca juga:

Tapi bagaimana dengan disrupsi yang tidak terprediksi sebelumnya seperti COVID-19? Bagaimana kita bisa siap menghadapi risiko yang tidak kita ketahui (the unkonwn) atau setidaknya yang sulit untuk terprediksi (seperti black swan)? Tidak ada jawaban mudah bagi pertanyaan ini, kalaupun tidak ingin menjawab tidak tahu. Karena pada dasarnya kita hanya bisa menganalisis apa yang bisa kita identifikasi, mengantisipasi apa yang kita pahami dalam kesiapan bisnis menghadapi disrupsi. Meski demikian, penerapan BCM (dan manajemen risiko) bukan berarti tidak akan membantu kita. Karena dalam penerapan manajemen risiko kita mengenal sistem peringatan dini (early warning system, atau disingkat EWS) yang mungkin belum mencakup sinyal tentang potensi kejadian sebuah wabah penyakit, namun setidaknya tetap mampu memberikan indikator terhadap dampak yang ditimbulkan bagi bisnis. Demikian pula dalam konteks kelangsungan usaha, organisasi yang telah menerapkan BCM dan terbiasa dengan penyiapan tempat kerja alternatif membutuhkan waktu yang relatif lebih cepat untuk beradaptasi dan menyesuaikan diri ketika kebijakan WfH diberlakukan.

Sebagai catatan penutup, dengan satu asumsi bahwa potensi bencana banjir maupun wabah penyakit menular seperti pandemi COVID-19 masih dapat terjadi berulang di masa mendatang maka hendaknya kita para pimpinan organisasi berhenti mempertanyakan apakah organisasi kita sungguh-sungguh membutuhkan BCM, atau mempertanyakan kapankah saat yang tepat untuk memulai penerapan BCM. Karena jika kita mengambil pelajaran terpetik (lesson learned) dari dampak bagi bisnis yang ditimbulkan oleh kedua peristiwa ini, belum lagi oleh potensi disrupsi lainnya, maka kita akan tahu jawaban, “ya dan sekarang..!”. Sudah saatnya kita peduli terkait kesiapan bisnis menghadapi disrupsi.

Baca juga:

Pada bulan ini IT Governance Indonesia bersama dengan IRMAPA sedang mengadakan Professional Development Program “BCM Berbasis ISO 22301”  infromasi lengkapnya silahkan klik di sini.

PDP IRMAPA

Rate this post

Bagikan:

[yikes-mailchimp form=”2″]

× Apa yang bisa kami bantu?