Terhitung sejak tanggal 29 Februari 2020, pemerintah pusat melalui Keputusan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Nomor 13 A tahun 2020 tentang Perpanjangan Status Keadaan Tertentu Darurat Bencana Wabah Penyakit Akibat Virus Corona di Indonesia menetapkan status “Darurat Bencana Corona” di Indonesia hingga tanggal 29 Mei 2020. Hal ini dilakukan dalam rangka merespons penyebaran COVID‐19 yang semakin meluas di berbagai belahan dunia, sekaligus mencegah penyebaran yang tidak terkendali di Indonesia. Beberapa hari kemudian, tanggal 2 Maret 2020, kasus positif terinfeksi corona pertama ditemukan di Depok dan pada tanggal 11 Maret 2020 Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menetapkan COVID‐19 sebagai pandemi setelah penyebarannya mencapai 114 negara.
Saat panduan ini dirilis, pemerintah pusat maupun beberapa pemerintah daerah telah mengeluarkan imbauan kepada masyarakat untuk melakukan pembatasan sosial (social distancing) dengan cara membatasi aktivitas di luar rumah. Sekolah melaksanakan belajar dari rumah, kegiatan yang melibatkan kerumunan massa dibatalkan, sedangkan kegiatan dunia usaha dianjurkan untuk melakukan pekerjaan dari rumah (work from home, disingkat WFH, istilah yang digunakan dalam panduan ini adalah KDR, Kerja Dari Rumah). Bahkan mungkin karantina wilayah pun telah diberlakukan oleh pemerintah pusat di sebagian wilayah di Indonesia mengingat jumlah pertambahan kasus positif terinfeksi corona yang terkonfirmasi yang terus meningkat dengan persentase kematian yang cukup tinggi. Per tanggal 20 Maret 2020 saja telah terdapat lebih dari 300 kasus positif terinfeksi virus corona dengan kasus meninggal sebanyak 25 pasien atau mencapai 8%.1 Jika dibandingkan dengan negara‐ negara ASEAN, Indonesia menempati urutan ketiga setelah Malaysia dan Singapura dalam hal jumlah kasus positif dengan angka dan persentase kematian yang paling tinggi.
Untuk merespons berbagai perkembangan situasi di atas, seluruh masyarakat Indonesia hendaknya mendukung upaya pemerintah pusat dan daerah untuk menekan laju peningkatan jumlah kasus COVID‐19 di Indonesia. Salah satunya saat ini adalah dengan melaksanakan anjuran pembatasan sosial dan melakukan isolasi mandiri di rumah. Bagi seluruh organisasi lintas sektor dan industri, hal ini berarti bahwa telah terjadi peristiwa disrupsi yang membawa operasional organisasi tidak lagi berada dalam kondisi business as usual di mana setiap aktivitas di tempat kerja selain di rumah masing‐masing, baik di kantor, pabrik, maupun di lokasi lainnya, tidak lagi bisa diakses. Sebagai respons atas situasi ini, hendaknya tiap‐tiap organisasi menerapkan manajemen kelangsungan usaha (business continuity management, disingkat BCM) dengan memiliki dan menerapkan rencana tanggap darurat (emergency response plan, disingkat ERP) serta rencana kontingensi bisnis (business contingency plan, disingkat BCP), dengan KDR sebagai salah satu bentuknya. Organisasi yang sebelumnya telah memiliki BCP untuk pelaksanaan KDR tentunya akan lebih siap dan cekatan dalam menerapkan anjuran pemerintah untuk melakukan KDR dibandingkan dengan organisasi lainnya yang kemudian hanya melakukan pembatasan aktivitas dengan merumahkan sementara para personelnya. Selain itu, ERP dan BCP juga ikut mendukung daya tahan organisasi dalam menghadapi disrupsi hingga dapat pulih kembali ketika kondisi kembali normal (business as usual). Tanpa ERP dan BCP, atau secara lebih lengkap tanpa BCM, organisasi dapat mengalami kesulitan untuk bertahan selama disrupsi dan tidak dapat, atau setidaknya sulit, untuk segera pulih seperti organisasi dengan BCM yang efektif.
Sumber: https://www.covid19.go.id/situasi‐virus‐corona/, diakses pada tanggal 20 Maret 2020